Hermeunetika Studi Al Qur’an ala Liberal
Oleh : Kang Ahmed
Hermenuetuka secara etimologi
diambil dari kata Yunani, “hermenuin”, yang berarti tafsir dan penjelasan serta penerjemahan. Ketika dipindah ke dalam ranah teologi seperti kondisi waktu itu, maka ditemukan bahwa bahasa wahyu ketuhanan yang tidak jelas sangat membutuhkan penjelasan tentang kehendak Tuhan agar dapat sampai kepada pemahaman tentang itu, bagitu juga agar dapat mentransformasikannya sesuai dengan kondisi kontemporer.[1]Kedua kata tersebut merupakan derivate dari kata “hermes”, yang dalam metodologi yunani dikatakan sebagai dewa yang diutus oleh zeus (tuhan) untuk menyampaikan pesan dan berita kepada manusia di bumi.[2]
Hermenuetuka secara etimologi
diambil dari kata Yunani, “hermenuin”, yang berarti tafsir dan penjelasan serta penerjemahan. Ketika dipindah ke dalam ranah teologi seperti kondisi waktu itu, maka ditemukan bahwa bahasa wahyu ketuhanan yang tidak jelas sangat membutuhkan penjelasan tentang kehendak Tuhan agar dapat sampai kepada pemahaman tentang itu, bagitu juga agar dapat mentransformasikannya sesuai dengan kondisi kontemporer.[1]Kedua kata tersebut merupakan derivate dari kata “hermes”, yang dalam metodologi yunani dikatakan sebagai dewa yang diutus oleh zeus (tuhan) untuk menyampaikan pesan dan berita kepada manusia di bumi.[2]
Hermeunetik
secara Terminologi
Dalam terminology
modern, hermeneutika-seperti yang di katakana Gadamer (1900-2002M)- berupaya
mengatasi problem pemahaman dengan meringkas makna serta usaha menguasainya
dengan media undang-undang apa pun. Maksudnya, ilmu yang digunakan dalam rangka
mencari pemahaman teks secara umum, yaitu dengan memunculkan
pertanyaan-pertanyaan beragam dan saling berkaitan seputar teks dari segi
karekteristiknya dan hubungannya dengan pengarangan teks serta pembacanya dari
sisi yang lain.[3]
Definisi lain menurut para filsuf hermeneutika sebagai berikut ini.
1.
Jhon
Martin Caladinus (1710-1759 M)
Hermeneutika
adalah seni menggapai pemahaman sempurna tentang ungkapan-ungkapan verbal dan tertulis.
2.
Fredrich
August Wolf (1785-1807 M)
Hermeneutika
adalah pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang membantu memahami makna- makna tanda.
3.
Fredrich
D. Ernest Schleirmacher (1768-1834)
Ia melihat
hermeneutika sebagai seni memahami dan menguasai.
4.
Papner
(1979 M)
Bahwa hermeneutika adalah proyek pamahaman.
Bahwa hermeneutika adalah proyek pamahaman.
Akar historis hermeneutika
Kisahnya cukup panjang.Teks berawal bersama Yunani kuno berupa
kode-kode simbolik.Kemudian hermeneutika pindah ke tangan orang-orang ibrani
(Yahudi) dan Philon of Alexandria memiliki perang penting yang menggabungkan
antara aliran simbolis dan filsafat yunani.Talmud mengandung
penjelasan-penjelasan lama yang terbentuk dalam waktu 8 abad antara abad ke-2
SM hingga abad ke-6 SM sehingga mereka dikenal dengan sebutan ahli kitab dan
takwil.Mereka serius membuat kaidah-kaidah untuk penkwillan sehingga tampaklah di
antara mereka kaum literalis seperti shaduqiin dan Qori’in, tetapi tafsir
simbolis tetap paling digandrungi khususnya dikalangan Qobbalah.[4]
Hermeneutika juga muncul dari teologi tradisi Kristen. Pada
Ensiklopedi Britanica edisi 15 yang terbit tahun 1985 M menyatakan,
“hermeneutika adalah kajian tentang kaidah-kaidah umum untuk menafsirkan bible
, dan tujuan utama dari hermeneutika dan metode-metode takwil yahudi dan
Nasrani sepanjang sejarahnya adalah untuk menyingkap kebenaran dan nilai dari
bible.”[5]
Teori Aplikasi hermeneutika dalam studi Al qur’an
Apakah metode hermeneutika bisa diterapkan untuk Al-Qur’an ?untuk
menjawabnya, ada dua hal yang perlu ditelaah.
1.
Perlu
dilakukan studi komparasi antara konsep teks Al-Qur'an dan konsep teks bible.
2.
Perbandingan
antara sejarah perdaban islam dan perdaban barat (Kristen-eropa).[6]
Kajian
terhadap kedua hal ini dengan serius akan memberikan jawaban, bahwa ada
perbedaan yang mendasar antara konsep teks dan perkembangan perdaban islam dan
barat.
Dalam hal ini Prof.
Wan juga mengkritik dosen pembimbingnya di Chicago University, yaitu
Prof.Fazlur Rahman, yang mengaplikasikan hermeneutika untuk menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur'an. Kata Prof. Wan Mohd
Nor :
“konsekuensi dari pendekatan hermeneutika ke atas system epistemology
islam termasuk segi perundangannya sangatlah besar dan saya fikir agak
berbahaya. Yang paling utama saya kira ialah penolaknnya terhadap penafisiran
yang final dalam sesuatu masalah, bukan hanya masalah agama dan akhlak, malah
juga masalah-masalah keilmuan lainnya. Keadaan ini dapat menimbulkan kekacauan
nilai, akhlak dan ilmu pengatahuan; dapat memisahkan hubungan aksiologi antara generasi, antar
agama dan kelompok manusia. Hermeneutika teks-teks agama barat bermula dengan
masalah besar: 1). Ketidakyakinan tentang kesahihan teks-teks tersebut oleh
para ahli dalam bidang itu sejak dari awal karena tidak adanya bukti materiil
teks-teks yang paling awal, 2). Tidak adanya laporan-laporan tentang tefsiran
yang boleh diterima umum, yakni ketiadaan tradisi mutawatir dan ijma’ dan
3).tidak adanya sekelompok manusia yang menghafal teks-teks yang telah hilang
itu. Ketiga masalah ini tidak terjadi dalam sejarah islam, khususnya dengan
masalah Al-Qur'an. Jika kita mengadopsi satu kaedah ilmiyah tanpa mempertimbangkan
latar belakang sejarahnya, maka kita akan mengalami kerugian besar. Sebab kita
akan meninggalkan metode kita sendiri yang telah begitu sukses membantu kita
memahami sumber-sumber agama kita dan juga telah membantu kita menciptakan
peradaban internasional yang unggul dan
lama.”[7]
Kemudian Dr. Adian Husaini melihat setidaknya ada tiga persoalan
besar ketika hermeneutika diterapkan pada teks Al-Qur'an.Hal ini terjadi karena
adanya spirit yang inheren dalam hermeneutika itu sendiri.
1.
Hermeneutika
menghendaki sikap yang kritis dan bahkan cenderung curiga. Sebuah teks bagi
seorang hermeneunt tidak bias lepas dari kepentingan-kepentingan tertentu, baik
dari si pembuat teks maupun budaya masyarakat pada saat teks itu dilahirkan.
Ungkapan klasik Nietszhe sering dijadikan pegangan, bahwa “ jangan lihat apa
yang dikatakan, tetapi lihat siapa yang mengatakan dan mengapa itu dikatakan
serta apa kepentingan dibalik itu semua.”
Dalam konteks Al-Qur'an, upaya mengumpulkan naskah-naskah Al-Qur'an
pada masa Khalifah Utsman Bin Affan, yang dikenal dengan Mushaf Utsmanisering kemudian dicurigai sebagai
upaya hegemoni budaya Arab Quraisy terhadap budaya-budaya yang lain. Karenanya,
semangat arabisme yang kuat perlu diwaspadai. Yang perlu diambil dari Al-Qur'an
adalah prinsip-prinsip pokok yang merupakan ajaran universal islam, seperti
nilai-nilai persamaan, keadilan dan sebagainya. Adapun yang sifatnya
tehnis-praktis, itu lebih merupakan upaya Nabi mengkontekskan Al-Qur'an pada
masyarakat Arab abad ke-7, sesuatu yang tentunya tidak lagi relevan dengan
kondisi sekarang.
2.
Hermeneutika
cenderung memandang teks sebagai produk budaya (muntaj staqofi), dan abai
terhadap hal-hal yang sifatnya trasenden (illahiyyah). Dalam bingkai
hermeneutika,Al-Qur'an jelas tidak mungkin dipandang sebagi wahyu Tuhan, lafadz
dan makna sebagai dipahami mayoritas umat isla, tetapi ia merupakan produk
budaya atau setidaknya wahyu tuhan yang dipengaruhi oleh budaya arab, yakni
budaya di mana wahyun diturunkan. Anggapan adanya berbagai kemukjizatan dalam
bahasa Al-Qur'an kemudian menjadi sesuatu uang tereduksi dan senderugn
dipandang sebelah mata.
3.
Aliran
hermeneutika sangat plural, karenanya kebenaran tafsir ini menjadi sangat
relative, yang pada gilirannya menjadi repot untuk diterapkan. Secara wacana
boleh jadi ia sangat bagus, tetapi kadang sangat sulit untuk deterapakan
dilapangan. Padahal dalam Islam, ada semacam keharusan, bahwa sebuah wacana
selain pas dengan logika penalaran (thinkable), juga harus seirama dengan
logika kesejarahan (applicable). Al-Qur'an diturunkan tidak hanya untuk
diwacanakan, tetapi lebih dari itu, bagaimana agar ia bisa diterapkan.[8]
[1]
Fahmi Salim, Kritik terhadap Studi Al qur’an kaum liberal. Hal 51
[2]
Dr. Syamsuddin Arif, Oreintalis dan diabolisme pemikiran. hal, 178
[3]
Fahmi Salim, Kritik terhadap Studi Al qur’an kaum liberal. Hal 52
[4]
Fahmi Salim, Kritik terhadap Studi Al qur’an kaum liberal. Hal 52
[5]
Fahmi Salim, Kritik terhadap Studi Al qur’an kaum liberal. Hal 124
[6]Adian
husaini, Hegemoni Kristen –barat. Hlm 190
[7]Adian
husaini, Hegemoni Kristen –barat. Hlm 192
[8] Dr.
Adian Husaini, hegemoni Kristen-barat. Hlm
153
0 komentar: