Sejarah Tradisi keilmuan Islam

       Oleh : Kang Ahmed
        Sebelum islam datang ke jazirah arab, keadaan bangsa arab ketika itu sungguh sangat memperhatinkan. Mereka adalah bangsa yang tergolong terbelakang, sedikit diantara mereka yang dapat membaca dan menulis. Mayoritas mereka adalah paganis dan sebagian lagi nasrani dan yahudi, dan ada pula penyembah matahari di yaman tepatnya adalah kaum saba’. Dalam segi politik, meraka saling membanggakan kabilah mereka masing-masing. Fanatik buta sudah menjadi frame pemikiran mereka, sampai lahir istilah “ tolonglah saudaramu baik yang berbuat dzolim atau didzolimi”.
Kedatangan Islam
            Kedatangan islam
        di tengah gurun pasir yang gersang ternyata dapat menjadi oase bagi bangsa arab ketika itu. Nabi Muhammad SAW yang membawa panji islam dengan bendera la ilaha illa Allah dapat merubah mekkah dan madinah sebagai sentral peradaban manusia tertinggi. Lihatlah beberapa potret tokoh seorang sahabat nabi, umar bin khotob dikenal sebagai seorang yang bengis, dan berhati keras sehingga tega membunuh anak perempuannya sendiri. Tapi dengan hidayah Allah hati yang keras bisa luluh lantah dengan desiran bacaan kalamullah Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah wahyu ilahi yang berisi segala panduan untuk dapat meraih kebahagian di dunia dan akhirat. Maka dari itu, Al-qur’an juga sebagai sumber keilmuan, karena pada hakikatnya ilmu yang diketahui oleh manusia sudah terangkum dalam kalamullah.
Budaya menulis di kalangan arab khususnya mekkah dan madinah sangatlah sedikit. Karena ada beberapa alasan. Pertama, mereka lebih banyak menggunakan hapalan, sebagai keunggulan meraka. Kedua, keterbatasan alat tulis sebagai alat untuk menulis sehingga mempersulit dalam membudayakan tulis-menulis. Ketiga, wawasan yang masih dangkal mungkin bisa menjadi alasan kenapa tidak ada budaya menulis, berbeda dengan peradaban yunani sejak beberapa abad sebelum masehi sudah terkenal dengan keilmuannya sehingga terdorong untuk menciptakan suatu buah karya tulisan. Kemudian timbul beberapa pertanyaan perihal perintah Rasulullah tentang pelarangan penulisan hadist. Mengapa demikian?, jawabannya adalah takut jika Al-Qur’an tercampur aduk dengan hadist. Dan juga untuk menghindari jika para sahabat yang masih awal-awal memeluk islam akan tersibukan dari Al-Qur’an. Setelah islam bangkit dan menyebar hampir ke seluruh jazirah arab dengan beriringan tersebarnya Al-Qur’an, hadist dan juga para sahabat sebagai guru sekaligus sebagai pemberi petunjuk ke jalan yang lurus.
            Setelah Al-qur’an marasuk dalam jiwa para sahabat munculah beberapa penafsir yang handal ketika itu seperti Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al- Asy’ari, Abdullah bin Zubair. Kemudian di masa tabi’in seperti Ikrimah, Mujahid, Zaid bin Aslam, dan Dlohak.
Penyebaran keilmuan islam
Kurang dari satu abad islam sudah tersebar luas keseluruh penjuru dunia. Seiring dengan itu, pembukuan tentang cabang-cabang keilmuan islam mulai gencar. Dari mulai pembukuan nahwu atau kaidah bahasa arab sesuai perintah sayyidina Ali R.a. kemudian hadist oleh imam malik di madinah, imam abu sufyan atsauri di basrah.
Karya-karya muslim tertulis, lebih baik dan meningkat pesat setelah teknologi pembuatan kertas dikuasai melalui orang cina tawanan yang dibawa ke Samarqand di pertengahan abad ke-2 H sehingga industri kertas didirikan di Baghdad, Syiria, Damaskus, Tiberias, Tripoli dan tempat lain. Walaupun penulisan dalam cabang ilmu islam seperti hadist, fikih, ushul fikh dan tafsir sudah muncul pada awal-awal islam tapi belum tersebar luas. Kemudian beriringan dengan karya-karya kaum muslimin dalam bidang ilmu-ilmu awail.mengingat kontak pertama kaum muslimin di bidang ilmu-ilmu awail atau ilmu diluar keilmuan islam baru terjadi pada pertengahan abad ke-2 H, lewat gerakan penerjemahan yang diprakarsai Khalifah Al-Mansur (136H-158H). dan diteruskan oleh putra nya Al-Ma’mun (198H-218H). sedangkan yang di pandang ilmu sudah muncul pada awal-awal islam.
Setelah itu muncul beberapa karya kitab tafsir yang di tulis oleh beberapa ulama islam seperti Muqotil bin Sulaiman berjudul Tafsir Khoms Miat min Al-Qur’an. Kemudian Ibnu Jarir Athobari yang dikenal dengan tafsir Ath-thobari. Tafsir ini bercorak tafsir riwayat kerena sebagian besar di kutip langsung melalui jalur riwayat atau di kenal sebagai tafsir bil Ma’stur. Muncul tafsir bercorak sufistik seperti karangan Sahl Tastary. Ada juga yang memuat hukum-hukum islam seperti tafsir Al-Qurthubi, yang berjudul Al jami’ li ahkam Al-Qur’an. Dalam bidang Ushul Fikh ada beberapa karya seperti Ar risalah karangan Imam Syafi’I, Mustashfa milik imam Al-Ghozali dan Ushul Sarkhosi karangan imam Sarkhosi.
Tidak terbatas terhadap keilmuan agama, tapi meluas kepada ilmu pengetahuan yang lainnya seperti kedokteran, astronomi, kimia, sosiologi dan fisika. Ilmu kedokteran seperti karya terkenal Ibnu Sina kitab qonun fi tibb, kemudian Al-hawi karangan Fakhrudin Ar Razi. Dalam ilmu matematika ada Al Khawarizmi dan ibnu Al haytami dengan karangan kitab Al munazir. Ahli kimia muslim erat kaitannya dengan Jabir bin Hayyan dan Zakariya Al-razi. Dalam bidang sosiologi ada ibnu Kholdun di sebut sebagai bapak social. Dan masih banyak lagi para ilmuan islam telah melahirkan banyak karya karena bagi meraka mencari ilmu adalah suatu ibadah yang utama setalah ibadah yang fardlu.
Jika kita melihat tidak sedikit dari para ilmuan islam tidak hanya mahir dalam ilmu eksak, tapi juga sudah tertanam nilai-nilai Al-Qur’an dalan jiwa mereka sejak kecil. Jadi islam itu sarat dengan keilmuan karena kitab suci yang di anut adalah sumber segala ilmu.  Kemunduran islam, berarti kemunduran dalam menalah Al-Qur’an dan lantas meninggalkanya. Tapi, kemajuan barat Karena meninggalkan injil dan kemudian beralih menelaah kembali karangan para karangan sarjana muslim yang mereka peroleh dari prosis tadabbur mendalam terhadap pesan-pesan dal kitab suci.



0 komentar:

Hermeunetika Studi Al Qur’an ala Liberal

               Oleh : Kang Ahmed
  Hermenuetuka secara etimologi 
             diambil dari kata Yunani, “hermenuin”, yang berarti tafsir dan penjelasan serta penerjemahan. Ketika dipindah ke dalam ranah teologi seperti kondisi waktu itu, maka ditemukan bahwa bahasa wahyu ketuhanan yang tidak jelas sangat membutuhkan penjelasan tentang kehendak Tuhan agar dapat sampai kepada pemahaman tentang itu, bagitu juga agar dapat mentransformasikannya sesuai dengan kondisi kontemporer.[1]Kedua kata tersebut merupakan derivate dari kata “hermes”, yang dalam metodologi yunani dikatakan sebagai dewa yang diutus oleh zeus (tuhan) untuk menyampaikan pesan dan berita kepada manusia di bumi.[2]  
 Hermeunetik secara Terminologi
            Dalam terminology modern, hermeneutika-seperti yang di katakana Gadamer (1900-2002M)- berupaya mengatasi problem pemahaman dengan meringkas makna serta usaha menguasainya dengan media undang-undang apa pun. Maksudnya, ilmu yang digunakan dalam rangka mencari pemahaman teks secara umum, yaitu dengan memunculkan pertanyaan-pertanyaan beragam dan saling berkaitan seputar teks dari segi karekteristiknya dan hubungannya dengan pengarangan teks serta pembacanya dari sisi yang lain.[3]
Definisi lain menurut para filsuf hermeneutika sebagai berikut ini.
       1.      Jhon Martin Caladinus (1710-1759 M)
             Hermeneutika adalah seni menggapai pemahaman sempurna tentang ungkapan-ungkapan verbal dan              tertulis.
       2.      Fredrich August Wolf (1785-1807 M)
             Hermeneutika adalah pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang membantu memahami  makna-                      makna tanda.
       3.      Fredrich D. Ernest Schleirmacher (1768-1834)
             Ia melihat hermeneutika sebagai seni memahami dan menguasai.
       4.      Papner (1979 M)
             Bahwa hermeneutika adalah proyek pamahaman.
             Akar historis hermeneutika
            Kisahnya cukup panjang.Teks berawal bersama Yunani kuno berupa kode-kode simbolik.Kemudian hermeneutika pindah ke tangan orang-orang ibrani (Yahudi) dan Philon of Alexandria memiliki perang penting yang menggabungkan antara aliran simbolis dan filsafat yunani.Talmud mengandung penjelasan-penjelasan lama yang terbentuk dalam waktu 8 abad antara abad ke-2 SM hingga abad ke-6 SM sehingga mereka dikenal dengan sebutan ahli kitab dan takwil.Mereka serius membuat kaidah-kaidah untuk penkwillan sehingga tampaklah di antara mereka kaum literalis seperti shaduqiin dan Qori’in, tetapi tafsir simbolis tetap paling digandrungi khususnya dikalangan Qobbalah.[4]

             Hermeneutika juga muncul dari teologi tradisi Kristen. Pada Ensiklopedi Britanica edisi 15 yang terbit tahun 1985 M menyatakan, “hermeneutika adalah kajian tentang kaidah-kaidah umum untuk menafsirkan bible , dan tujuan utama dari hermeneutika dan metode-metode takwil yahudi dan Nasrani sepanjang sejarahnya adalah untuk menyingkap kebenaran dan nilai dari bible.”[5]

         Teori Aplikasi hermeneutika dalam studi Al qur’an
         Apakah metode hermeneutika bisa diterapkan untuk Al-Qur’an ?untuk menjawabnya, ada dua hal yang perlu ditelaah.
1.      Perlu dilakukan studi komparasi antara konsep teks Al-Qur'an dan konsep teks bible.
2.      Perbandingan antara sejarah perdaban islam dan perdaban barat (Kristen-eropa).[6]
Kajian terhadap kedua hal ini dengan serius akan memberikan jawaban, bahwa ada perbedaan yang mendasar antara konsep teks dan perkembangan perdaban islam dan barat.
Dalam hal ini Prof. Wan juga mengkritik dosen pembimbingnya di Chicago University, yaitu Prof.Fazlur Rahman, yang mengaplikasikan hermeneutika untuk menafsirkan ayat-ayat  Al-Qur'an. Kata Prof. Wan Mohd Nor :
“konsekuensi dari pendekatan hermeneutika ke atas system epistemology islam termasuk segi perundangannya sangatlah besar dan saya fikir agak berbahaya. Yang paling utama saya kira ialah penolaknnya terhadap penafisiran yang final dalam sesuatu masalah, bukan hanya masalah agama dan akhlak, malah juga masalah-masalah keilmuan lainnya. Keadaan ini dapat menimbulkan kekacauan nilai, akhlak dan ilmu pengatahuan; dapat memisahkan  hubungan aksiologi antara generasi, antar agama dan kelompok manusia. Hermeneutika teks-teks agama barat bermula dengan masalah besar: 1). Ketidakyakinan tentang kesahihan teks-teks tersebut oleh para ahli dalam bidang itu sejak dari awal karena tidak adanya bukti materiil teks-teks yang paling awal, 2). Tidak adanya laporan-laporan tentang tefsiran yang boleh diterima umum, yakni ketiadaan tradisi mutawatir dan ijma’ dan 3).tidak adanya sekelompok manusia yang menghafal teks-teks yang telah hilang itu. Ketiga masalah ini tidak terjadi dalam sejarah islam, khususnya dengan masalah Al-Qur'an. Jika kita mengadopsi satu kaedah ilmiyah tanpa mempertimbangkan latar belakang sejarahnya, maka kita akan mengalami kerugian besar. Sebab kita akan meninggalkan metode kita sendiri yang telah begitu sukses membantu kita memahami sumber-sumber agama kita dan juga telah membantu kita menciptakan peradaban internasional yang  unggul dan lama.”[7]
Kemudian Dr. Adian Husaini melihat setidaknya ada tiga persoalan besar ketika hermeneutika diterapkan pada teks Al-Qur'an.Hal ini terjadi karena adanya spirit yang inheren dalam hermeneutika itu sendiri.
1.      Hermeneutika menghendaki sikap yang kritis dan bahkan cenderung curiga. Sebuah teks bagi seorang hermeneunt tidak bias lepas dari kepentingan-kepentingan tertentu, baik dari si pembuat teks maupun budaya masyarakat pada saat teks itu dilahirkan. Ungkapan klasik Nietszhe sering dijadikan pegangan, bahwa “ jangan lihat apa yang dikatakan, tetapi lihat siapa yang mengatakan dan mengapa itu dikatakan serta apa kepentingan dibalik itu semua.”
Dalam konteks Al-Qur'an, upaya mengumpulkan naskah-naskah Al-Qur'an pada masa Khalifah Utsman Bin Affan, yang dikenal dengan Mushaf  Utsmanisering kemudian dicurigai sebagai upaya hegemoni budaya Arab Quraisy terhadap budaya-budaya yang lain. Karenanya, semangat arabisme yang kuat perlu diwaspadai. Yang perlu diambil dari Al-Qur'an adalah prinsip-prinsip pokok yang merupakan ajaran universal islam, seperti nilai-nilai persamaan, keadilan dan sebagainya. Adapun yang sifatnya tehnis-praktis, itu lebih merupakan upaya Nabi mengkontekskan Al-Qur'an pada masyarakat Arab abad ke-7, sesuatu yang tentunya tidak lagi relevan dengan kondisi sekarang.
2.      Hermeneutika cenderung memandang teks sebagai produk budaya (muntaj staqofi), dan abai terhadap hal-hal yang sifatnya trasenden (illahiyyah). Dalam bingkai hermeneutika,Al-Qur'an jelas tidak mungkin dipandang sebagi wahyu Tuhan, lafadz dan makna sebagai dipahami mayoritas umat isla, tetapi ia merupakan produk budaya atau setidaknya wahyu tuhan yang dipengaruhi oleh budaya arab, yakni budaya di mana wahyun diturunkan. Anggapan adanya berbagai kemukjizatan dalam bahasa Al-Qur'an kemudian menjadi sesuatu uang tereduksi dan senderugn dipandang sebelah mata.
3.      Aliran hermeneutika sangat plural, karenanya kebenaran tafsir ini menjadi sangat relative, yang pada gilirannya menjadi repot untuk diterapkan. Secara wacana boleh jadi ia sangat bagus, tetapi kadang sangat sulit untuk deterapakan dilapangan. Padahal dalam Islam, ada semacam keharusan, bahwa sebuah wacana selain pas dengan logika penalaran (thinkable), juga harus seirama dengan logika kesejarahan (applicable). Al-Qur'an diturunkan tidak hanya untuk diwacanakan, tetapi lebih dari itu, bagaimana agar ia bisa diterapkan.[8]




[1] Fahmi Salim, Kritik terhadap Studi Al qur’an kaum liberal. Hal 51
[2] Dr. Syamsuddin Arif, Oreintalis dan diabolisme pemikiran. hal, 178
[3] Fahmi Salim, Kritik terhadap Studi Al qur’an kaum liberal. Hal 52

[4] Fahmi Salim, Kritik terhadap Studi Al qur’an kaum liberal. Hal 52
[5] Fahmi Salim, Kritik terhadap Studi Al qur’an kaum liberal. Hal 124
[6]Adian husaini, Hegemoni Kristen –barat. Hlm 190
[7]Adian husaini, Hegemoni Kristen –barat. Hlm 192
[8] Dr. Adian Husaini, hegemoni Kristen-barat. Hlm  153

0 komentar: